Bukan Sekadar Selebrasi: Menimbang Ulang Tradisi Wisuda di Lembaga Pendidikan Islam

Sinjai, sinjai.wahdah.or.id -- Respon masyarakat terhadap seremoni kelulusan yang semakin berlebihan kini makin kuat terdengar. Pemerintah, melalui Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan dan Kepala Kemenag Kabupaten Sinjai, telah mengeluarkan himbauan agar pelaksanaan penamatan atau wisuda tidak dilakukan secara boros, mewah, atau melampaui batas kewajaran. Ini merupakan ajakan moral yang sangat relevan dengan realitas pendidikan dan sosial kita hari ini.

Di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Wahdah Islamiyah Sinjai, kami pun pernah menyelenggarakan wisuda dengan konsep yang cukup besar, bahkan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Saat itu, niat kami tulus: memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para santri yang telah menyelesaikan hafalan dan studi mereka. Namun seiring waktu, dan terutama setelah adanya arahan serta refleksi dari berbagai pihak, kami merasa perlu untuk mengevaluasi kembali bentuk selebrasi tersebut.

Sebagai lembaga pendidikan, kami menyadari bahwa esensi dari wisuda bukanlah pertunjukan, tetapi ungkapan syukur dan peneguhan tanggung jawab atas ilmu yang telah diperoleh. Oleh karena itu, kami mulai merancang ulang konsep penamatan agar tetap memberi kesan yang mendalam, tetapi dengan lebih sederhana, efisien, dan tidak membebani para santri maupun orang tua mereka.

Kami menyambut baik himbauan pemerintah ini, bukan sebagai batasan, tetapi sebagai pengingat agar kita mampu menjaga keseimbangan antara ekspresi syukur dan kebijaksanaan. Apalagi, di tengah situasi ekonomi yang menuntut kehati-hatian, efisiensi anggaran menjadi bagian dari kebijakan nasional yang harus kita dukung bersama.

Islam sendiri telah meletakkan prinsip kesederhanaan sebagai fondasi dalam segala aspek kehidupan. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”
(QS. Al-Isra: 26–27)

Ayat ini tidak hanya melarang perilaku konsumtif, tetapi juga membentuk mentalitas umat yang bertanggung jawab, tidak silau dengan kemewahan, dan tidak terjebak pada simbolisme semata.

Karena itu, kami mengajak seluruh lapisan masyarakat—terutama para orang tua dan pemerhati pendidikan—untuk menyambut arahan ini dengan lapang dada dan penuh kesadaran. Mari kita ubah cara pandang terhadap kesuksesan. Keberhasilan santri tidak ditentukan oleh megahnya acara wisuda, melainkan oleh akhlaknya setelah diwisuda, oleh kontribusinya setelah kembali ke tengah masyarakat.

Menata ulang tradisi ini bukan berarti menghapus kebahagiaan, tapi justru memperindahnya dengan nilai. Kita tidak sedang memangkas kenangan, melainkan memperdalamnya dengan kesadaran. Insya Allah, langkah ini akan menghadirkan keberkahan bagi anak-anak kita, keluarga mereka, dan dunia pendidikan Islam secara menyeluruh.

Oleh: KM. Hamdan Munir
 
Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Wahdah Islamiyah Sinjai