Efek Boykot pada Perekonomian dan Kekuatan Militer Negara

Sinjai.Wahdah.Or.Id -- Pernahkah kita berpikir bahwa keputusan sederhana untuk tidak membeli suatu produk bisa mengguncang ekonomi sebuah negara? Bahkan lebih jauh lagi, bisa memengaruhi kekuatan militernya?

Boykot bukanlah hal baru dalam sejarah umat manusia. Namun, bagi umat Islam hari ini, terutama dalam konteks konflik berkepanjangan di Palestina, boykot telah menjadi bentuk perlawanan yang sangat bermakna. Tidak perlu senjata, tidak perlu anggaran besar—cukup kesadaran kolektif, konsistensi, dan niat untuk tidak menjadi bagian atau kontributor dari sistem yang menindas.

Mengapa Boykot Itu Penting?

Kita hidup di era kapitalisme global. Banyak perusahaan multinasional terlibat langsung atau tidak langsung dalam mendanai penjajahan, kekerasan, bahkan genosida. Sebagian dari mereka bahkan secara terang-terangan menyumbang kepada para negara tinari tanpa terkecuali militer Israel atau memberikan dukungan teknologi kepada sistem apartheid terhadap rakyat Palestina.

Dengan membeli produk mereka, secara tidak sadar kita ikut memperkuat ekonomi yang menopang mesin militer. Di sinilah kekuatan boykot mengambil peran: memutus aliran dana ke arah yang salah.

Sekilas Kondisi Palestina Saat Ini

Sejak Oktober 2023, Gaza mengalami salah satu serangan paling brutal dalam sejarahnya. Puluhan ribu warga Palestina telah syahid, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan perempuan yang tak berdosa. Ratusan ribu lainnya terluka, kehilangan rumah, dan hidup dalam kelaparan serta trauma.

Blokade total yang diberlakukan oleh Israel menghalangi bantuan medis dan pangan masuk ke Gaza. Rumah sakit lumpuh, sekolah hancur, dan seluruh sistem kehidupan runtuh. Listrik dan air bersih nyaris tidak tersedia. Ini bukan lagi soal konflik, ini soal pembantaian sistematis terhadap sebuah bangsa.

Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa kita lakukan sebagai Muslim yang hidup nyaman di luar zona perang? Salah satu jawabannya: boykot.

Contoh Nyata Dampak Boykot

Bukan isapan jempol belaka. Beberapa waktu lalu, perusahaan-perusahaan besar yang ditengarai pro-Israel mengalami penurunan penjualan drastis bahkan penutupan beberapa gerai dan restoran di berbagai negara mayoritas Muslim. Salah satu jaringan makanan cepat saji yang sangat populer misalnya, melaporkan penurunan pendapatan hingga miliaran dolar hanya dalam hitungan bulan.

Efek ini bukan hanya tekanan ekonomi. Ketika angka penjualan merosot, perusahaan mulai panik. Mereka terpaksa mengeluarkan pernyataan publik, berusaha menjauhkan diri dari konflik, atau bahkan mengubah kebijakan mereka. Artinya? Suara kita didengar, tindakan kita diperhitungkan.

Bayangkan jika itu dilakukan secara konsisten oleh jutaan Muslim di seluruh dunia. Jika 1 orang berhenti membeli produk seharga Rp20.000, mungkin tak terasa. Tapi kalau 10 juta orang? Itu berarti Rp200 miliar. Dan uang sebesar itu bisa saja tadinya digunakan untuk membeli senjata, amunisi, atau membiayai propaganda.

Kaitan Langsung dengan Militer

Uang adalah darah dalam sistem militer modern. Tanpa dana, militer tidak bisa membeli senjata, membayar tentara, atau mendanai operasi-operasi intelijen. Beberapa perusahaan yang kita boikot memiliki keterkaitan langsung dengan penyediaan teknologi militer—baik berupa perangkat pengawasan, alat pelacak, hingga sistem persenjataan canggih.

Dengan melemahkan perusahaan-perusahaan tersebut secara finansial, maka secara tidak langsung kita juga melemahkan kekuatan militer yang disokongnya.

Ini Bukan Sekadar Isu Palestina

Kadang kita berpikir, “Ah, Palestina jauh. Saya di Indonesia, apa pengaruhnya?”
Tapi sesungguhnya ini bukan hanya soal Palestina. Ini soal keadilan global, soal keberpihakan pada yang tertindas, soal tanggung jawab moral sebagai Muslim.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Perumpamaan kaum Mukminin dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi seperti satu tubuh; jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan tidak tidur dan demam."
(HR. Muslim)

Maka jika saudara kita di Gaza dibantai, dan kita masih nyeruput kopi dari perusahaan yang ikut menyumbang ke sana, atau menikmati seporsi nasi dari salah satu perusahaan penyokong dana militer israel bukankah itu bentuk kealpaan yang menyakitkan?

Tantangan dan Konsistensi

Tentu, boykot tidak mudah. Banyak produk-produk yang sudah terlanjur jadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Tapi di sinilah tantangannya: sejauh mana kita rela berkorban untuk membela kebenaran?

Kita tidak dituntut untuk sempurna. Namun setiap langkah kecil yang kita ambil, jika dilakukan bersama-sama, akan menciptakan efek besar. Ini bukan tentang satu orang, tapi tentang kesadaran kolektif umat Islam di seluruh dunia.

Perlawanan Tak Harus Angkat Senjata

Perlawanan tidak harus di medan tempur. Dengan boikot, kita sedang ikut bertempur di medan ekonomi. Dan ingat, setiap rupiah yang tidak kita belanjakan ke pihak yang menindas, adalah bentuk solidaritas nyata kita.

Kita mungkin tidak bisa mengangkat senjata. Tapi kita bisa memilih apa yang kita beli. Kita mungkin tidak bisa melarang perusahaan besar munyuplai dana ke militer israel. Tapi kita punya hak untuk tidak membeli dari perusahaan tersebut. Kita bisa membangun ekonomi sendiri. Kita bisa memperkuat brand-brand lokal milik umat. Kita bisa... jika kita mau.

Mari terus istiqamah dalam boikot. Bukan karena tren. Bukan karena viral. Tapi karena ini adalah bagian dari iman kita, dari kepedulian kita, dan dari jihad kita di jalan Allah.

Oleh: Muh Ilham Anugrah Bayu